Ada banyak ilmu parenting yang tertulis di buku, media cetak lain, maupun di dunia digital. Kehadirannya menjadi salah satu jawaban atas tingginya permintaan dari para orangtua yang mencari ilmu pengasuhan anak. Sangat mudah bagi orangtua zaman sekarang untuk tersesat di belantara ilmu parenting. Saya pun pernah mengalaminya. Semasa menjadi ibu muda, di tahun 2004 – 2015, saya sering membeli buku dan tabloid, juga majalah. Tentu saja, demi ananda tercinta. Juga untuk meningkatkan kepercayaan diri menjadi pengasuh utama. Baru 2,5 tahun ini, saya benar-benar menikmati proses belajar parenting melalui komunitas Ibu Profesional. Terutama sekali setelah mengikuti Matrikulasi dan fitrah keibuan saya dibangunkan dengan sukarela.
Pasca lulus matrikulasi, saya belajar di kelas Bunda Sayang untuk belajar teori pengasuhan anak yang seru karena diberi tugas mengasyikkan, yaitu mengobservasi perkembangan anak sesuai tema yang disiapkan para fasilitator. Nah, dari sinilah, saya belajar kembali, teknik menjadi ibu yang didengarkan anak. Jadi ibu yang asyik. Jadi ibu yang tahu cara membangun fitrah anak sesuai usianya.
Dua anak saya tidak lagi imut-imut. Mereka dua anak yang sudah masuk ke fase kedua dalam perkembangan anak. Familiar dengan kata 7 tahun pertama, 7 tahun kedua, 7 tahun ketiga? Yap. Karena dalam Islam, fase perkembangan anak terbagi 3 yaitu:
Usia 0 – 7 tahun adalah usia raja
Usia 8 – 14 tahun adalah usia pembantu
15 – 21 adalah usia wazir atau menteri
Ada sedikit salah kaprah ketika anak usia 0 -7 tahun diperlakukan sebagai raja yang dimanja dan diturut apa saja kemauannya. DI dunia nyata, raja memiliki banyak kewajiban dan larangan. Mereka punya banyak kesempatan sekaligus batasan. Di saat inilah sudah seharusnya anak mulai dilatih kemandiriannya.
Anak saya sudah berusia 9 dan 13 tahun. Mereka berada di fase pembantu. Jadi, tugas kemandirian mereka lebih banyak dan harus tuntas.
Saya sangat menikmati proses mengubah mereka menjadi anak-anak yang mandiri pasca mendapatkan ilmu tentang kemandirian anak. Menyenangkan sekali melihat mereka dengan senang hati melakukannya, dan sampai sekarang telah menjadi kebiasaan atau habit baru. Kadang ada resisten kecil, karena anak bosan melakukannya. Saya memaklumi dan tetap mengajak mereka melakukannya. Kali ini dengan ditemani. Lebih tepatnya, saya turut serta bersama mereka. Sejauh ini, alhamdulillah, hasilnya sangat terasa.
Mas Destin, 13 tahun, memiliki tugas utama yaitu memasak nasi, membuat minuman pagi, memberi makan ayam, dan menyiapkan semua keperluan sekolahnya sendiri. Beberapa hari sekali membantu mencuci pecah belah dan menjemur serta melipat pakaian. Tugas harian lainnya adalah memastikan rumah dan adik aman saat kedua orangtuanya tak ada di rumah, juga mengatur keuangan (uang jajan) yang dia kelola untuk berdua.
Mas Binbin, 9 tahun, sudah bisa menyiapkan kebutuhan sekolahnya sendiri, membersihkan rumah (sapu dan pel) serta menjadi menteri pengairan (memastikan stok air minum selalu ada untuk seluruh keluarga).
Keduanya memiliki tugas mengurus rumah secara normal, ketika saya ada atau tidak, dengan memastikan semua listrik dan colokan aman, kamar mandi bersih, air di kamar mandi terisi, centelan baju lebih rapi, bisa memasak sederhana, membaca buku atau artikel setiap hari, saling menjaga satu sama lain dan membuat karya-karya sederhana. Tiap hari mereka sudah memiliki jadwal harian yang masih base on time.
Bisa dikatakan, misi awal saya membuat mereka lebih mandiri dan mengenali kebutuhan diri sudah berhasil. Bukan keberhasilan mutlak, tetapi jauh lebih baik daripada sebelumnya.
Mengapa kita harus mandiri?
Mengapa kemandirian anak harus dibentuk?
Kemandirian anak sangat erat kaitannya dengan membentuk konsep diri positif. Terutama membentuk rasa percaya diri karena anak telah selesai dengan dirinya sendiri. Ia tak diliputi keraguan apakah dirinya cukup berharga bagi orang lain. Anak mandiri akan tahu bahwa ia akan baik-baik saja di kondisi apapun. Di sinilah kepercayaan diri mereka terbentuk. Dan, di saat yang lain, ketika melihat ada teman yang kesulitan, ia akan dengan percaya diri membantu.
Pada awalnya, tepatnya 2 tahun lalu, saya diliputi rasa gelisah, karena anak-anak laki-laki saya belum mandiri. Pakaian masih asal taruh di mana saja. Mandi harus disuruh. Dan masih banyak ketidakmandirian lainnya yang meresahkan. Rasanya ada yang salah, pikir saya. Ketika si sulung meminta masuk pesantren ketika SMP, duar! saya seperti terkena ledakan kesadaran baru. Saya terlambat mengenalkan kemandirian.
Sejak saat itu, saya mulai membuat proyek melatih kemandirian. Ketika mengikuti kuliah Bunda Sayang, saya semakin pede melatih anak. Ada ilmunya!
10 keterampilan dasar tersebut adalah:
1. Menjaga kesehatan dan keselamatan dirinya
2. Keterampilan literasi
3. Mengurus diri sendiri
4. Berkomunikasi
5. Melayani orang lain
6. Menghasilkan makana
7. Perjalanan mandiri
8. Memakai teknologi
9. Transaksi keuangan
10. berkarya.
Kemandirian erat kaitannya dengan konsep diri atau citra diri. Anak (atau orang dewasa) yang mandiri akan memiliki konsep diri yang positif. Mereka menjadi anak yang lebih bahagia dan nyaman dengan diri dan lingkungannya.
Apakah tugas saya selesai?
Tentu saja tidak! Masih terus berproses, sesuai usianya. Mereka masih di fase kedua. Ingat?
Yuk Aybund, anak-anaknya dilatih kemandirian sesuai usianya. Coba pelajari checklist perkembangan anak. Jika anak masih berusia dini, coba cari tulisan teman-teman saya yang lain tentang kemandirian anak.
Jangan khawatir akan kesulitan melatih ke anak. Cuma butuh 3 kunci, kok: KONSISTENSI, MOTIVASI, & TELADAN.
KONSISTENSI bisa didapatkan dengan mengenalkan anak pada jadwal harian atau daftar tugas, lalu pastikan anak melakukannya. Konsisten bukan hanya untuk anak tetapi juga untuk orangtuanya. Lakukan perlahan dengan improvement yang terencana. Pastikan anak secara ajeg atau konsisten melakukannya.
Sulit? Jangan lupakan motivasi.
MOTIVASI, bisa berupa motovasi intrinsik dan ekstrnsik. Memotivasi anak dari dalam dengan memberitahu mengapa keterampilan tersebut harus dikuasai dan apa manfaatnya bagi kehidupannya. Beri contoh-contoh tokoh yang telah berhasil. Puji semua keberhasilan anak secara berimbang (dan pastikan saat sendirian untuk mencegah anak besar kepala). Motovasi ekstrinsik bisa berupa hadiah kecil yang disukai anak, dan bisa apa saja seperti ke rumah nenek, ke rumah teman, boleh meminjam smartphone berapa menit, membeli sesuatu yang disukai, diberi tambahan uang jajan, boleh memilih kegiatan week end bersama, dan masih banyak lagi.
Anak kadang masih mlintir? Coba cek keteladanan. Apakaha ayah bunda melakukannya atau asal suruh? hihihi
TELADAN, adalah contoh paling riil yang bisa ditiru dan menyemangati anak dari dalam. Jika ayah bunda menjadi teladan atas apa yang diajarkan anak, semua akan lebih mudah bagi anak. Karena mereka punya cermin untuk melihat betapa baiknya jika keterampilan tersebut tercapai. Ingat selalu, anak mungkin bisa salah memahami arti, tetapi Anak Tak Mungkin Salah Meng-copy Perbuatan Orang Terdekatnya
Selamat melatih Kemandirian Anak!
Melatih kemandirian ada perjalanan panjang yah, bun.. semangat ??
BalasHapusKemandirian itu butuh proses pembiasaan Dan Latihan yang nggak instan ya mbak. Nggak hanya setahun Dua tahun, harus continuously.. Dan tantangannya terkadang justru konsistensi orangtuanya. Huhuhu.
BalasHapusYess, konsisten, motivasi dan teladan!
BalasHapusMashaAllah keren Bun, anak-anak sudh besar-besar, tantanganpun makin besar ya Bun. Semoga anak-anak menjadi anak tangguh dan mandiri
BalasHapusTeladan,belajar pada anak itu memang lebih mengena ya bun. Sayapun akhirnya menyadari kalau saya kurang mandiri setelah ikut Bunsay. ?
BalasHapusKuncinya keteladanan ayah bundanya dulu ya mbak...?
BalasHapusWaaah keren sekali Mas Destin dan Mas Binbin, sudah terlibat langsung dalam tatanan pekerjaan rumah tangga ya:) Semoga bisa mengikuti jejak mba Susi dalam melatih kemandirian anak, sehingga nanti di saat usia anak-anak sudah memasuki tahap 7 tahun ke-2, bisa membantu maminya ini hehe.. Barakallah mba :)
BalasHapusWah Mas Destin dan Mas Binbin beruntung sekali memiliki ibu seperti Mba Susierna yang sudah melatihkan kemandirian dengan penuh kasih sayang. Sepakat dengan 3 kunci dalam melatih kemandirian, konsistensi, motivasi, dan teladan karena anak tak mungkin salah dalam meng copy apa yang dilihatnya.
BalasHapusNoted banget buat persiapan duo mufasa kami. Terimakasih mba susi detail komplit tp ringan di kunyah.
BalasHapusAlhamdulillah senang sekali membaca tulisan tentang kemandirian ananda. Semoga tetap semangat KMT (konsisten, Motivasi, Teladan) ya bunda..
BalasHapusmengajarkan kemandirian di fase 7 tahun kedua pasti tantangannya lebih berat daripada fase sebelumnya. salut sama keberhasilannya, bund.
BalasHapusdan tampilan blog yang ini kereen, syukaa..
Terimakasih sharingnya mba..?
BalasHapus