“Anak kok susah banget belajar, ya?” tanya seorang ibu kepada saya. Jawaban saya yang pertama kali tentu saja tersenyum. Selain menenangkan diri juga menyiapkan jawaban mengapa anak sulit belajar.
Menjawab pertanyaan seperti itu tak bisa langsung buka buku dan menjawab. Harus mempelajari dulu. Tapi sebelum bertanya atau menjawab, coba isi quisioner kecil ini deh:
1. Apakah ayah/bunda menyuruh anak belajar?
2. Apa yang dilakukan saat anak belajar?
3. Apakah ayah/bunda menemani anak belajar?
4. Jika anak bertanya, apakah jawaban ayah/bunda memuaskan?
5. Jika anak kesulitan dengan materi, apakah dibantu atau hanya disuruh baca bab yang dipelajari?
6. Apakah cahaya ruangan belajar bagus?
7. Apakah ada reward setelah anak belajar?
8. Apa bentuknya?
Baca: Kemandirian Anak
Setalah menjawab dengan jujur, mari kita mengenal anak underachiever atau anak dengan prestasi di bawah.
Anak cerdas berasal dari rumah. Sekolah hanyalah pemicu dan pemantik. Bahan dasarnya harus sudah ada dan sudah siap distimulasi agar potensi dan prestasi mereka di sekolah melejit. Maka, jika prestasi anak kurang bagus, bisa jadi kita yang kurang menstimulasi. Psst… saya termasuk orangtua yang kurang menstimulasi anak sehingga lahirlah tulisan ini. Yuk kita perbaiki bersama.
AyBund, jumlah anak underachiever di Indonesia cukup banyak. Ini sungguh fenomena yang menyedihkan dan harus dikurangi dengan penuh semangat dan itikad. Saya cukup terkejut dengan fakta jumlah anak yang tidak naik kelas. Anak saya sendiri pun pernah hampir mengalaminya dulu. Huhuhu.. Ini pengalaman yang sangat membekas. Alhamdulillah guru mau menaikkan anak karena melihat nilai tesnya 8 dan 9 semua. Bahkan tertinggi adalah matematika, 9,8. Hanya salah satu soal saja. Kenapa tak naik kelas? Karena saya tidak memeriksa buku tulisnya, sehingga tak tahu jika anak jarang mengerjakan tugas. So… ini salah saya sendiri.
Nah, saya jadi ingat dengan hasil penelitian 23 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1994, Konggres PGRI mengejutkan dunia pendidikan ketika merilis prosentase ketertinggalan kelas di Indonesia yang cukup besar, yaitu:
Anak kelas satu 16,7 %
Anak kelas dua 12,4 %
Anak kelas tiga 10,6 %
Jumlah tersebut termasuk besar dan mengkhawatirkan. Dan saya masih yakin jika jumlah tersebut belum membaik dengan signifikan, meski saya tak menemukan hasil penelitian yang lebih baru. Semoga segera ada dan dirilis secara publik agar semua tahu dan mau bahu membahu mengatasi fenomena gunung es ini.
Faktanya, anak-anak yang tidak naik kelas, sebagian diantaranya memiliki IQ yang tinggi. Namun karena satu dan banyak hal lainnya, prestasi sekolahnya sangat rendah. Para ahli pedagog menyebut mereka, anak underachiever atau anak cerdas-berbakat berketidakmampuan belajar. Biasanya terjadi pada keluarga yang abai pada proses belajar anak di sekolah. Anak dibiarkan tidak belajar dan asyik bermain. Anak-anak ini akan kaget dan kecewa saat nilainya buruk. Beberapa lagi menjadi sangat malu dan tanpa sadar mengamini label ‘bodoh’ yang disematkan orang-orang di sekitarnya.
Menurut buku Growing Up: Usia 7-9 Tahun, Anak-anak semacam ini memiliki karakteristik:
1. Mempunyai perasaan negatif terhadap semua (atau hampir semua) jenis pelajaran di sekolah. Mereka selalu merasa bosan di sekolah
2. Menampakkan sikap tidak matang dalam arti social. Ia kerap sulit berteman atau menjauhi sosialisasi dengan teman sebaya.
3. Bersikap defensif dan hanya mau belajar hanya jika ada yang mau membantu (learned helplearner)
4. Kadang mereka amat pelupa, ceroboh dan disorganized.
Jika putra dan putri AyBund punya 4 kecenderungan di atas, sudah saatnya berusaha lebih keras membersamai anak saat belajar. Itu tandanya alarm darurat sudah berbunyi.
Saya punya cara sederhana yang masih saya upayakan sampai sekarang. Disiplin membersamai anak memang tak mudah. Percayalah. Semangat saya juga up and down banget. Tahu tapi lupa. Lupa dan menyesal. Duh.. ini benar-benar PR, dan perubahan memang harus dilakukan semua. Anak, orangtua, dan guru.
Tips ala saya:
1. Konsultasi dengan guru, apa saja kesulitan anak belajar dan bagaimana solusinya
2. Perbaiki ruang belajar anak, terutama penerangan.
3. Minta ayah untuk mengambil peran juga
4. Beri camilan kesukaannya
5. Selalu siap jadi fasilitator belajar anak
6. Jika anak bertanya, ajak menemukan jawaban bersama-sama (anak underachiever sering meminta ini)
7. Pantau terus hasil belajarnya.
8. Pelajari gaya belajar anak dan jadikan acuan cara belajar.
a. anak visual akan suka corat-coret
b. anak auditori lebih suka dibacakan materinya
c. anak kinestetik perlu bergerak saat belajar
9. Beri reward sesuai bahasa cinta anak. Bahasa cinta ada 5, yaitu:
a. Kebersamaan/waktu berkualitas
b. Kata-kata
c. Sentuhan fisik
d. Hadiah
e. Layanan
Hmm.. pasti penasaran. Perihal gaya belajar anak, akan saya bahas lebih lengkap di posting lain. Sedangkan tentang bahasa cinta anak, bisa dibaca di Memahami Bahasa Cinta Anak dan Keuntungannya.
Selamat mencoba, Ayah Bunda…..
Posting Komentar
Posting Komentar